Laman

Generasi Muda Aceh dalam Peradaban Semu

Potret kehidupan generasi muda Aceh saat ini dalam kondisi yang sangat-sangat memprihatinkan. Generasi berprestasi hanya tinggal sekumpulan kecil dari sebagian besar generasi yang tergerus budaya modernisasi, mereka kini berada dalam peradaban semu. Padahal mereka adalah harapan Nanggroe, penyambung tongkat estafet kepemimpinan Aceh dimasa yang akan datang.


Pergaulan Muda-Mudi
Kehidupan dan pergaulan sebagian besar generasi muda sekarang sudah sangat jauh menyimpang dari norma agama dan nilai budaya Aceh yang islami, mulai dari pakaian (jilbab seadanya + pakaian ketat) yang masih banyak ditemui diseluruh pelosok Nanggroe.

Penyalahgunaan narkoba dan budaya seks bebas begitu cepat menyebar dan telah mewarnai kehidupan muda-mudi Aceh pasca tsunami. Mereka seakan lupa kalau bumi ini pernah mendapat teguran yang sangat keras dari Allah SWT beberapa tahun yang silam.

Karakter dan Budaya Islami
Islam adalah karakter, budaya islami adalah ruh dan jiwa orang Aceh tapi budaya islami sudah jauh panggang dari api dan nyaris hilang ditelan bumi. Berboncengan sambil pelukan dengan yang bukan muhrim seakan sudah tidak tabu lagi dipertontonkan disepanjang jalan. Berdua-duan dan bermesraan di cafe dan pinggiran pantai sudah menjadi budaya baru yang seakan tak ada lagi yang peduli tapi malah mengamini.

Inikah yang dinamakan Bumi Serambi Mekkah.? Nanggroe Syariat.? atau apapun istilah dan namanya, yang jelas fenomena yang terjadi saat ini sudah sangat jauh menyimpang dari slogan-slogan tersebut. Bila ini kita biarkan maka karakter dan budaya Aceh yang islami akan hilang dengan sendirinya, Aceh akan memasuki peradaban semu (suatu peradaban yang rapuh, yang jauh dari norma agama dan nilai budaya). 

Bahasa Aceh
Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan jati diri dan menunjukkan identitas suatu peradaban. Bila tidak kita lestarikan maka peradaban ini akan hilang.

Sungguh sangat menyedihkan manakala masyarakat Aceh sekarang terutama generasi muda merasa minder berbahasa Aceh. Bahkan sebagian ada yang tidak bisa berbahasa Aceh dan lebih parah lagi ada yang merasa malu mengakui diri sebagai orang Aceh.

Banyak saya temui generasi muda sekarang merasa gengsi berbahasa Aceh, yang berlogat Aceh dianggap kampungan, disepelekan dan sering menjadi ejekan diantara teman-temannya. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, entah dari mana awal mulanya sehingga generasi muda mulai merasa malu berbahasa Aceh dan berlogat Aceh.

Kalau kita sudah tidak bangga lagi dengan ke "Aceh" an kita, siapa lagi yang akan melestarikan bahasa ini.? siapa lagi yang akan menyelamatkan peradaban ini.?

Kehilangan Identitas dan Karakter
Sikap yang ditunjukkan sebagian besar generasi muda Aceh terkesan mulai menjauh dari Budaya, Adat dan Bahasa Aceh. Sikap ini sangat membahayakan dan tidak bisa dibiarkan begitu saja bila kita tidak ingin identitas dan karakter dari nilai-nilai adat Aceh terkikis dari jiwa generasi muda kita secara total dikemudian hari.

Minimnya pengetahuan dan penghayatan terhadap nilai-nilai adat tanpa disadari telah membuat mereka lupa akan adatnya sendiri secara perlahan tapi pasti.

Keanehan semakin terasa manakala kita melihat sikap sopan santun, saling menghargai dan menghormati sudah menjadi barang langka yang jarang kita temui pada diri generasi muda kita.

Ketika membiarkan Tontonan menjadi Tuntunan
Percaya ataupun tidak, tanpa kita sadari tayangan yang ditonton oleh anak-anak kita telah dijadikan tuntunan oleh sebagian besar generasi muda kita. Pergaulan bebas, narkoba, kekerasan, modernisasi dan westernisasi telah meracuni pikiran generasi muda kita lewat tayangan-tayangan murahan yang menghiasi televisi.

Ada beberapa pandangan keliru diantara generasi muda kita, seperti: 

Bukan anak gaul bila belum mencicipi narkoba, merasa kuno, kampungan dan ketinggalan zaman kalau pacaran cuma hanya sebatas pegangan tangan, dan lain sebagainya.

Bila orangtua tidak tanggap dan membatasi tontonan yang tidak bermanfaat, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti tontonan akan dijadikan tuntunan, dan yang seharusnya dijadikan tuntunan malah dijadikan tontonan oleh generasi muda kita.

Dimana yang salah.? dan Siapa yang paling betanggung jawab.? 

Kalau sudah begini pasti akan terjadi saling menyalahkan diantara kita, ada yang mengatakan salah pemerintah, salah sekolah, salah balai pengajian, salah guru dan salah ulama.

Tapi tahukah anda.? 
Sadarkah anda.? 
Bahwa yang paling bersalah dan yang paling bertanggung jawab atas keadaan ini adalah anda sendiri sebagai orangtua.!!!

Orangtua
Karakter seorang anak terbentuk dari tiga faktor utama: orangtua, institusi pendidikan (sekolah/balai pengajian), dan lingkungan.

Dari ketiga faktor tersebut, orangtua mempunyai peranan 60%, sekolah/ balai pengajian 25% dan lingkungan 15%.

Kalau ditinjau dari segi agama, maka orangtua lah yang berperan 100% terhadap pembentukan karakter anak.

Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (HR. Bukhari dan Muslim).

Waspadalah wahai para orangtua, secara tersirat pada hadits di atas mengandung perintah bagi anda untuk mendidik anak-anak agar senantiasa berada dalam fithrahnya dan mengandung ancaman bagi orangtua yang mengajarkan kesesatan atau membiarkan anaknya berada dalam kesesatan. 

Ada beberapa poin pokok yang menjadi ancaman bagi orangtua menurut hadits tersebut:
  1. Orangtua yang mengajarkan aqidah-akhlak yahudi, nasrani dan majusi. 
  2. Orangtua yang memberi contoh kepada anaknya melalui perbuatannya. Sehingga anaknya pun mengikutinya. 
  3. Orangtua yang tidak mengajarkan anaknya dan tidak pula mencontohkan. Akan tetapi dengan membiarkan, tidak mendidik dengan aqidah-akhlak yang islami sejak dini, dan tidak menjaga pergaulan anak mereka. Sehingga lingkungan merubahnya untuk beraqidah dan berakhlaq seperti yahudi, nasrani, dan majusi. 

Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai orangtua agar selalu berusaha untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya untuk diri kita sendiri, kemudian mengajarkannya kepada keluarga kita (anak dan istri, terutama anak) agar mereka senantiasa tetap berada diatas fithrahnya dan tidak teracuni oleh aqidah, akhlaq dan perbuatan seperti yahudi, nasrani, dan majusi.

Na’udzubillaahi min zalik. Semoga Allah menetapkan kita dan keluarga kita agar selalu berada diatas fithrah hingga akhir hayat. Aamiin..

Cara terbaik dalam mendidik adalah dengan memberi contoh, teladan, dan pemahaman bukan hanya dengan menyuruh, melarang, apalagi memaksakan.

Setiap orangtua pasti menginginkan anak yang shaleh, shalehah, beraqidah dan berakhlaqul karimah tapi sangat sedikit orangtua yang menyadari kalau sesungguhnya itu semua ada dan dimulai dari dirinya sendiri (orangtua) bukan dari sekolah dan balai pengajian.

Sekolah dan balai pengajian hanyalah sarana yang bersifat membantu orangtua mewujudkan keinginannya.

Sekolah dan Balai Pengajian
Institusi pendidikan sebagai sarana perpanjangan tangan orangtua juga memiliki peranan dalam membentuk karakter dan jati diri generasi muda.

Perlu penambahan kurikulum ekstra:bdi sekolah, seperti: Bahasa dan Budaya Aceh, Alqur-an dan Tajwid, Aqidah-Akhlak, dan Tahfidz Quran, terutama untuk tingkat sekolah SD, SMP dan SMA.

Pelajaran Bahasa dan Budaya Aceh mutlak diperlukan supaya generasi muda Aceh tidak kehilangan karakter dan identitas seperti sekarang ini.

Begitu juga dengan Pelajaran Alquran-Tajwid, Aqidah-Akhlak, dan Tahfidz Quran merupakan dasar untuk membentuk generasi qurani yang mempunyai landasan agama yang kuat untuk kemajuan dan tegaknya syariat islam di Aceh pada masa yang akan datang.

Pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Bumi Searambi Mekkah memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan agama, budaya dan bahasa melalui qanun dan kebijakan-kebijakannya. 

Diperlukan beberapa qanun khusus yang mengatur tentang: Penambahan kurikulum baru (Bahasa dan Budaya Aceh, Alquran-Tajwid, Aqidah-Akhlak, dan Tahfidz Quran) ditingkatan sekolah dasar dan menengah serta qanun tentang kewajiban berbahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Aceh.

Saya sangat terinspirasi melihat daerah lain seperti di Jogja, Solo, dan Surabaya. Mereka sangat bangga menggunakan bahasa mereka disetiap kesempatan dimanapun mereka berada, baik dipasar, mall, lingkungan sekolah dan lingkungan pemerintahan.

Pada awal saya kuliah di Jogja sempat heran, takjub dan kagum sekaligus kewalahan karna mereka selalu mengawali pembicaraan dengan bahasa jawa pada siapa saja. Bahkan pada orang asing yang tidak mirip dengan orang jawa seperti saya.

Budaya positif merasa bangga berbahasa daerah seperti ini patut kita tiru. Dan ini baru bisa terjadi di Aceh apabila pemerintah serius dalam melestarikannya melalui qanun dan kebijakan-kebijakan yang diambil.

Berharap dengan sangat agar pemerintah mau memberikan perhatian khusus pada masalah pendidikan, agama, akhlak, budaya dan bahasa. Jangan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi saja.

Semoga generasi muda Aceh bisa menemukan kembali karakter dan identitasnya serta tidak terseret oleh arus modernisasi dan westernisasi ke dalam peradaban semu. Aamiiin.


*Artikel ini pernah dimuat harian Serambi Indonesia edisi Jumat, 04 April 2014 (kolom opini hal.18).



Wassalam...

Daftar Isi