Saya sangat terinspirasi melihat kota yang satu ini, mulai dari anak-anak, remaja, orangtua dan pemuda semuanya merasa sangat bangga dengan budaya dan bahasa mereka. Pada awal menginjakkan kaki di kota Jogja, saya merasa takjub dan kagum sekaligus kewalahan karna mereka selalu mengawali pembicaraan dengan bahasa jawa pada siapa saja bahkan pada orang asing yang tidak mirip dengan orang jawa seperti saya. Disetiap kesempatan dimanapun mereka berada, baik dipasar, mall, lingkungan sekolah, kampus dan lingkungan pemerintahan selalu menggunakan bahasa daerah. Budaya positif merasa bangga akan budaya dan berbahasa daerah seperti ini patut kita tiru dan implementasikan diprovinsi Aceh.
Fenomena ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di Nanggroe Aceh tercinta, generasi yang bangga akan budaya dan bahasa hanya tinggal sekumpulan kecil dari sebagian besar generasi yang tergerus budaya modernisasi. Kehidupan dan pergaulan sebagian besar generasi muda kita sekarang sudah sangat jauh menyimpang dari norma agama, nilai dan budaya Aceh yang islami.
Islam adalah karakter, budaya islami adalah ruh dan jiwa orang Aceh tapi budaya ini sudah jauh panggang dari api, berboncengan sambil pelukan dengan yang bukan muhrim seakan sudah tidak tabu lagi dipertontonkan disepanjang jalan. Berdua-duan dan bermesraan di cafe dan pinggiran pantai sudah menjadi budaya baru yang seakan tak ada lagi yang peduli tapi malah mengamini. Inikah yang dinamakan Bumi Serambi Mekkah.? Nanggroe Syariat.? atau apapun istilah dan namanya, yang jelas fenomena yang terjadi saat ini sudah sangat jauh menyimpang dari slogan-slogan tersebut. Islam sebagai ruh, karakter dan jati diri orang Aceh seakan lenyap ditelan tsunami.
Sungguh sangat menyedihkan lagi manakala masyarakat Aceh sekarang terutama generasi muda merasa minder berbahasa Aceh. Bahkan ironisnya sebagian ada yang malah tidak bisa berbahasa Aceh. Banyak saya temui generasi muda kita merasa gengsi berbahasa Aceh, berlogat Aceh dianggap kampungan, disepelekan dan sering menjadi ejekan diantara teman-temannya, terutama diperkotaan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, entah dari mana awal mulanya sehingga generasi muda mulai merasa malu berbahasa Aceh dan berlogat Aceh. Kalau kita sudah tidak bangga lagi dengan ke Acehan kita, siapa lagi yang akan melestarikan bahasa ini.?
Generasi tua dan muda Aceh saat ini terkesan mulai menjauh dari Budaya, Adat dan Bahasa Aceh. Sikap ini sangat membahayakan dan tidak bisa dibiarkan begitu saja bila kita tidak ingin identitas dan karakter dari nilai-nilai adat Aceh terkikis dari jiwa generasi muda kita secara total dikemudian hari. Minimnya pengetahuan dan penghayatan terhadap nilai-nilai adat tanpa disadari telah membuat kita lupa akan adat dan budaya kita sendiri.
Pemerintah Aceh sebagai pemegang kekuasaan tertinggi diprovinsi ini memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam menjaga dan melestarikan agama, budaya dan bahasa melalui qanun dan kebijakan-kebijakannya. Hendaknya pemerintah memberikan perhatian khusus pada masalah pendidikan, agama, akhlak, pelestarian budaya dan bahasa. Jangan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi saja. Semoga dengan niat dan kerja bersama (orangtua, institusi pendidikan, ulama dan pemerintah) kita mampu membangkitkan dan mengembalikan lagi karakter dan identitas kita sebagai daerah yang berbudaya islami, bangga berbahasa Aceh, dan merasa bangga pula dengan ke Acehan kita.
Wassalam...