Siapa yang tidak kenal dengan sosok kontroversial yang satu ini. Namanya mulai mencuat dan dikenal setelah memproklamirkan deklarasi perjuangan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976, berikut petikan isi paragraph pertama dan paragraph terakhir pada deklarasi tersebut yang saya kutip dari bukunya yang berjudul: "The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro".
DECLARATION OF INDEPENDENCE OF ACHEH SUMATRA
Paragraph pertama:
"To the peoples of the world:
"We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java".
Paragraph terakhir:
"Our cause is just ! Our land is endowed by the Almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We expect recognition from decent members of the commuriity of nations. We extend the hands of friendship to all peoples and to all governments from the four corners of the earth".
In the name of the sovereign people of Acheh, Sumatra.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro
Chairman, National Liberation Front
of Acheh Sumatra and Head of State
Acheh, Sumatra, December 4, 1976.
Perbedaan
Abu Daud Bereueh seorang ulama dan tokoh masyarakat yang ikut langsung memimpin dan bertempur bersama pasukannya memperjuangkan sebuah janji yang dikhianati oleh pemerintah (Bung Karno), yaitu penerapan syariat islam secara kaffah di Tanah Rencong.
Hasan Tiro tidak ikut langsung bertempur bersama pasukannya, beliau lebih memilih perjuangan lewat jalan diplomatik diluar negeri. Sedangkan pasukannya bertempur di daerah. Sehingga pemikiran-pemikiran dasar beliau tidak diserap sempurna oleh pasukannya.
Bahkan tidak sedikit dari pasukannya yang hanya mengenal namanya saja. Inilah yang kemudian menjadi salah satu kelemahan GAM. Para pengikutnya menjadi kehilangan arah, egois dan arogan.
Persamaan
Persamaan dasar antara DI/TII dan GAM adalah harga diri suatu bangsa merupakan harga mati yang pantas untuk diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.
Dari Aceh Merdeka menuju Aceh yang Damai
Aksi Hasan Tiro diluar negeri selama berpuluh-puluh tahun memperjuangkan kemerdekaan diberbagai forum Internasional dan PBB membuahkan hasil. Pemerintahan SBY-JK mengirimkan delegasi RI ke luar negeri untuk mencari solusi alternatif bersama delegasi Hasan Tiro untuk kepentingan perdamaian.
Setelah terjadi perdebatan panjang antara RI dan GAM akhirnya mencapai sebuah kesepakatan damai sebagai alternatif merdeka (MoU Helsinky), yang ditandatangani bersama pada tanggal 15 Agustus 2005 di kota Vantaa, Finlandia.
Implementasi dari kesepakatan damai tersebut tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 1 Agustus 2006.
DECLARATION OF INDEPENDENCE OF ACHEH SUMATRA
Paragraph pertama:
"To the peoples of the world:
"We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java".
Paragraph terakhir:
"Our cause is just ! Our land is endowed by the Almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We expect recognition from decent members of the commuriity of nations. We extend the hands of friendship to all peoples and to all governments from the four corners of the earth".
In the name of the sovereign people of Acheh, Sumatra.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro
Chairman, National Liberation Front
of Acheh Sumatra and Head of State
Acheh, Sumatra, December 4, 1976.
Siapa Hasan Tiro.?
Sampai saat ini saya belum menemukan data yang benar-benar valid untuk mengungkap siapa sebenarnya tokoh kontroversial ini, selain minimnya literatur juga terkendala opini yang sudah terlanjur terbentuk dimasyarakat Aceh terutama dilapisan bawah (masyarakat awam). Karakter masyarakat Aceh yang terkenal keras dan susah menerima hal-hal baru yang mungkin akan bertentangan dengan yang selama ini mereka yakini juga merupakan masalah tersendiri.
Terlepas dari itu semua, saya mencoba untuk melihat dari dua sisi yang berbeda sehingga diharapkan mendapat suatu kesimpulan yang bisa diterima oleh semua pihak tanpa harus saling mencaci dan membenci. Beliau adalah salah seorang yang direkomendasikan oleh Abu Daud Bereueh kepada pemerintah untuk disekolahkah di Yogyakarta, lalu kemudian mendapat beasiswa RI ke University of Columbia.
Sama halnya dengan Abu Daud Bereueh, nasionalismenya juga begitu tinggi kepada RI dan sempat diangkat menjadi staf wakil Perdana Menteri II yang dijabat Syafruddin Prawiranegara dan menjadi staf penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia PBB di Amerika.
Nasionalisme yang Runtuh
Awal mula lunturnya jiwa nasionalisme dalam diri Hasan Tiro ketika terjadi pembantaian rakyat Aceh oleh TRI/TNI pada saat pemberontakan DI/TII oleh Abu Daud Beureueh, terutama pembantaian rakyat sipil yang tak berdosa pada peristiwa Pulot-Cot Jeumpa tahun1954.
Beliau yang saat itu berada di Amerika sempat mengirimkan surat bernada keras kepada Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo yang berisi tentang menuntut RI meminta maaf kepada rakyat Aceh dan kutukan terhadap aksi pembantaian tersebut serta berisi ancaman bahwa beliau beserta teman-teman akan membuka perwakilan diplomatik bagi RII (Republik Islam Indonesia) diseluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam. *waktu itu masih berjuang untuk DI/TII seluruh Indonesia. Dan akan membongkar ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Ekses dari surat tersebut membuat paspor diplomatiknya dicabut RI. Sejak saat itu nasionalismenya kepada RI benar-benar telah runtuh dan pemikirannya mulai bergeser ke nasionalisme Aceh yang merdeka dan berdaulat.
Ketika Harga Diri Aceh diinjak-injak
(Aceh harus Mandiri, Merdeka dan Berdaulat)
Hasan Tiro selanjutnya mulai mempelajari dan menjelajahi sejarah Aceh setelah perang melawan Belanda. Dalam salah satu tulisannya di New York Times beliau mengorbit semangat juang rakyat Aceh dalam mengusir penjajah mulai dari masa kerajaan Aceh dan menggarisbawahi bahwa perjuangan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tau dan memiliki prinsip mati sebagai manusia terhormat.
Tekadnya semakin bulat untuk memerdekakan Aceh setelah mempelajari dokumen Resolusi PBB tentang hak untuk menentukan nasib sendiri (referendum) dan tentang Negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.
Lambat laun pemikirannya kian berkembang dan mulai merangkak ke upaya pembentukan sebuah negara kerajaan sambungan. Beliau melihat celah sejarah untuk mewujudkan impiannya.
Hasan Tiro menemukan bahwa saat Kesulthanan Aceh runtuh oleh pasukan Belanda, Aceh belum takluk dan belum mampu dikuasai oleh Belanda secara penuh. Perlawanan rakyat Aceh saat itu masih terjadi dimana-mana dan bahkan membuat Belanda lari meninggalkan Aceh. Dan saat tentara NICA Jepang masuk ke Aceh pasukan Belanda sudah nyaris hilang dari bumi Aceh.
Dari sejarah dan dokumen PBB yang dia pelajari, Hasan Tiro berkesimpulan bahwa Belanda tidak mempunyai dasar yang kuat menyerahkan Aceh kepada RI pada KMB (konferensi Meja Bundar) mengingat Belanda tidak menguasai Aceh secara penuh dan lari meninggalkan Aceh.
Berdasarkan celah tersebut, beliau bertekad untuk memperjuangkan Aceh yang Mandiri dan Berdaulat menjadi sebuah negara yang merdeka. Sehingga rakyat Aceh bisa hidup makmur dan terbebas dari penderitaan dan pembantaian.
Beliau berusaha untuk membangkitkan kesadaran rakyat Aceh akan arti sebuah kebebasan dengan mengimplemantasikannya melalui sebuah perjuangan. Sehingga dideklarasikanlah Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976.
Terlepas dari itu semua, saya mencoba untuk melihat dari dua sisi yang berbeda sehingga diharapkan mendapat suatu kesimpulan yang bisa diterima oleh semua pihak tanpa harus saling mencaci dan membenci. Beliau adalah salah seorang yang direkomendasikan oleh Abu Daud Bereueh kepada pemerintah untuk disekolahkah di Yogyakarta, lalu kemudian mendapat beasiswa RI ke University of Columbia.
Sama halnya dengan Abu Daud Bereueh, nasionalismenya juga begitu tinggi kepada RI dan sempat diangkat menjadi staf wakil Perdana Menteri II yang dijabat Syafruddin Prawiranegara dan menjadi staf penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia PBB di Amerika.
Latar Belakang Pemberontakan
Nasionalisme yang Runtuh
Awal mula lunturnya jiwa nasionalisme dalam diri Hasan Tiro ketika terjadi pembantaian rakyat Aceh oleh TRI/TNI pada saat pemberontakan DI/TII oleh Abu Daud Beureueh, terutama pembantaian rakyat sipil yang tak berdosa pada peristiwa Pulot-Cot Jeumpa tahun1954.
Beliau yang saat itu berada di Amerika sempat mengirimkan surat bernada keras kepada Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo yang berisi tentang menuntut RI meminta maaf kepada rakyat Aceh dan kutukan terhadap aksi pembantaian tersebut serta berisi ancaman bahwa beliau beserta teman-teman akan membuka perwakilan diplomatik bagi RII (Republik Islam Indonesia) diseluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam. *waktu itu masih berjuang untuk DI/TII seluruh Indonesia. Dan akan membongkar ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Ekses dari surat tersebut membuat paspor diplomatiknya dicabut RI. Sejak saat itu nasionalismenya kepada RI benar-benar telah runtuh dan pemikirannya mulai bergeser ke nasionalisme Aceh yang merdeka dan berdaulat.
Ketika Harga Diri Aceh diinjak-injak
(Aceh harus Mandiri, Merdeka dan Berdaulat)
Hasan Tiro selanjutnya mulai mempelajari dan menjelajahi sejarah Aceh setelah perang melawan Belanda. Dalam salah satu tulisannya di New York Times beliau mengorbit semangat juang rakyat Aceh dalam mengusir penjajah mulai dari masa kerajaan Aceh dan menggarisbawahi bahwa perjuangan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tau dan memiliki prinsip mati sebagai manusia terhormat.
Tekadnya semakin bulat untuk memerdekakan Aceh setelah mempelajari dokumen Resolusi PBB tentang hak untuk menentukan nasib sendiri (referendum) dan tentang Negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.
Lambat laun pemikirannya kian berkembang dan mulai merangkak ke upaya pembentukan sebuah negara kerajaan sambungan. Beliau melihat celah sejarah untuk mewujudkan impiannya.
Hasan Tiro menemukan bahwa saat Kesulthanan Aceh runtuh oleh pasukan Belanda, Aceh belum takluk dan belum mampu dikuasai oleh Belanda secara penuh. Perlawanan rakyat Aceh saat itu masih terjadi dimana-mana dan bahkan membuat Belanda lari meninggalkan Aceh. Dan saat tentara NICA Jepang masuk ke Aceh pasukan Belanda sudah nyaris hilang dari bumi Aceh.
Dari sejarah dan dokumen PBB yang dia pelajari, Hasan Tiro berkesimpulan bahwa Belanda tidak mempunyai dasar yang kuat menyerahkan Aceh kepada RI pada KMB (konferensi Meja Bundar) mengingat Belanda tidak menguasai Aceh secara penuh dan lari meninggalkan Aceh.
Berdasarkan celah tersebut, beliau bertekad untuk memperjuangkan Aceh yang Mandiri dan Berdaulat menjadi sebuah negara yang merdeka. Sehingga rakyat Aceh bisa hidup makmur dan terbebas dari penderitaan dan pembantaian.
Beliau berusaha untuk membangkitkan kesadaran rakyat Aceh akan arti sebuah kebebasan dengan mengimplemantasikannya melalui sebuah perjuangan. Sehingga dideklarasikanlah Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976.
Hubungan antara DI/ TII dan GAM
Dari beberapa literatur yang saya baca tidak menemui hubungan secara langsung kecuali Hasan Tiro pernah menjadi pengikut Abu Daud dan pembantaian etnis dan ulama Aceh pada masa DI/TII menjadi pemicu runtuhnya jiwa nasionalisme dalam diri Hasan Tiro. Kalau dilihat dari latar belakang pemberontakan pun berbeda jauh dengan DI/TII. Abu Daud memperjuangkan penerapan syariat islam di Aceh sedangkan Hasan Tiro menginginkan Aceh yang merdeka dan berdaulat.
Dari beberapa literatur yang saya baca tidak menemui hubungan secara langsung kecuali Hasan Tiro pernah menjadi pengikut Abu Daud dan pembantaian etnis dan ulama Aceh pada masa DI/TII menjadi pemicu runtuhnya jiwa nasionalisme dalam diri Hasan Tiro. Kalau dilihat dari latar belakang pemberontakan pun berbeda jauh dengan DI/TII. Abu Daud memperjuangkan penerapan syariat islam di Aceh sedangkan Hasan Tiro menginginkan Aceh yang merdeka dan berdaulat.
Perbedaan
Hasan Tiro tidak ikut langsung bertempur bersama pasukannya, beliau lebih memilih perjuangan lewat jalan diplomatik diluar negeri. Sedangkan pasukannya bertempur di daerah. Sehingga pemikiran-pemikiran dasar beliau tidak diserap sempurna oleh pasukannya.
Bahkan tidak sedikit dari pasukannya yang hanya mengenal namanya saja. Inilah yang kemudian menjadi salah satu kelemahan GAM. Para pengikutnya menjadi kehilangan arah, egois dan arogan.
Persamaan
Persamaan dasar antara DI/TII dan GAM adalah harga diri suatu bangsa merupakan harga mati yang pantas untuk diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.
Dari Aceh Merdeka menuju Aceh yang Damai
Setelah terjadi perdebatan panjang antara RI dan GAM akhirnya mencapai sebuah kesepakatan damai sebagai alternatif merdeka (MoU Helsinky), yang ditandatangani bersama pada tanggal 15 Agustus 2005 di kota Vantaa, Finlandia.
Implementasi dari kesepakatan damai tersebut tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 1 Agustus 2006.
Akhir dari sebuah perjalanan panjang
Biografi Singkat
Hasan Tiro lahir di Pidie, 25 September 1925, nama lengkap beliau adalah Hasan Muhammad di Tiro. Lulusan Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ilmu Hukum Internasional di University Columbia dan Fordam University di New York, dan mendapat gelar doktoral ilmu hukum di University of Plano,Texas.
Silsilah Keturunan
Ada sebagian masyarakat yang yakin dan percaya kalau Hasan Tiro adalah keturunan dari salah seorang pejuang Aceh masa lalu Tgk. Chik di Tiro, ada juga yang berpendapat kalau beliau memiliki darah biru dari garis keturunan kesulthanan Aceh, dan tidak sedikit pula yang meragukan keduanya. Benarkah demikian.? mana yang benar.? dan mana yang salah.?
Semuanya masih misteri yang belum terungkap, hanya beliau sendirilah yang tau pasti. Saya juga tidak menemukan data-data yang akurat untuk dijadikan pedoman, tidak banyak literatur yang berbicara tentang itu kecuali dari buku-buku karangan beliau.
Menurut beberapa rujukan beliau adalah anak kedua dari pasangan Tgk. Pocut Fatimah dan Tgk. Muhammad Hasan. Ibunya adalah cucu perempuan dari Tgk. Chik Muhd. Saman di Tiro. Kalau benar demikian, maka secara garis keturunan yang berlaku di Aceh bisa dikatakan hubungannya terputus pada si ibu. *garis keturunan di Aceh berdasarkan dari pihak laki-laki bukan perempuan. (hubungan darahnya dengan Tgk. Muhd. Saman di Tiro sangat lemah).
Pembual dan Penjual Mimpi
Belakangan juga banyak yang menyebutkan kalau beliau adalah seorang pembual dan penjual mimpi dengan menumbalkan rakyat. Ada yang mengatakan beliau memberontak karna perusahaannya ditolak oleh pemerintah untuk mengelola gas alam Aceh. Benarkah isu tersebut.? Setelah Hasan Tiro meninggal dunia memang banyak terjadi perdebatan tentang masalah yang berujung pada saling memaki dan mencaci diantara sesama rakyat dan bangsa Aceh.Ada sebagian masyarakat yang yakin dan percaya kalau Hasan Tiro adalah keturunan dari salah seorang pejuang Aceh masa lalu Tgk. Chik di Tiro, ada juga yang berpendapat kalau beliau memiliki darah biru dari garis keturunan kesulthanan Aceh, dan tidak sedikit pula yang meragukan keduanya. Benarkah demikian.? mana yang benar.? dan mana yang salah.?
Semuanya masih misteri yang belum terungkap, hanya beliau sendirilah yang tau pasti. Saya juga tidak menemukan data-data yang akurat untuk dijadikan pedoman, tidak banyak literatur yang berbicara tentang itu kecuali dari buku-buku karangan beliau.
Menurut beberapa rujukan beliau adalah anak kedua dari pasangan Tgk. Pocut Fatimah dan Tgk. Muhammad Hasan. Ibunya adalah cucu perempuan dari Tgk. Chik Muhd. Saman di Tiro. Kalau benar demikian, maka secara garis keturunan yang berlaku di Aceh bisa dikatakan hubungannya terputus pada si ibu. *garis keturunan di Aceh berdasarkan dari pihak laki-laki bukan perempuan. (hubungan darahnya dengan Tgk. Muhd. Saman di Tiro sangat lemah).
Pembual dan Penjual Mimpi
Sebenarnya masalah ini sama sekali tidak layak untuk diperdebatkan dan dipermasalahkan. Saya melihatnya ini tidak lebih hanyalah sebuah alasan pembenaran yang tidak logis yang digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politik semata. Saya lebih memilih untuk melihat masalah ini dari sisi yang berbeda yang jauh lebih bermakna dan bermanfaat bagi kita semua.
Menuju Kehidupan yang Abadi
Perjuangan Hasan Tiro berakhir di Banda Aceh pada tanggal 3 Juni 2010, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Salah seorang putra terbaik Aceh dengan segala kontroversinya telah meninggalkan sebuah kemenangan besar bagi rakyat Aceh. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima segala amal ibadahnya. Aamiin...
Kemerdekaan tidak selamanya diartikan sebagai sebuah kemenangan mutlak untuk sebuah kekuasaan. Kemerdekaan yang hakiki adalah disaat apa yang kita perjuangkan menjadi bermanfaat bagi orang yang kita tinggalkan dan disaat harga diri sebagai suatu suku bangsa telah berhasil dikembalikan.
Diakui ataupun tidak, pemikiran-pemikiran beliau dan apa yang telah dilakukannya memiliki makna yang sangat besar terhadap rakyat Aceh. Meskipun gagal dalam mewujudkan Aceh yang merdeka dan berdaulat tapi beliau telah berhasil membuka mata dunia untuk Aceh dan telah berhasil mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh yang selama ini hilang.
Buah dari perjuangan panjang yang dilakukan oleh Hasan Tiro telah memberikan implementasi yang jelas dari sebuah "Daerah Istimewa" yang dulu pernah diperjuangkan oleh Abu Daud Bereueh melalui disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada tahun 2006.
Sebuah kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Aceh mendapatkan sebuah kebebasan dalam bentuk hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Alhamdulillah, hasil manis dari sebuah perjuangan panjang yang telah merenggut banyak jiwa para syuhada dan membanjiri Tanah Rencong dengan darah dan airmata. Baca juga: Banjir Darah dan Airmata di Tanah Rencong.
Tinggal sekarang bagaimana kita menerapkannya dan memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Aceh dimasa yang akan datang BUKAN untuk memenuhi nafsu akan harta dan kekuasaan seperti yang terjadi sekarang ini. *di Aceh sekarang terjadi perpecahan diantara kombatan GAM menjadi beberapa kelompok hanya demi memperebutkan harta dan kekuasaan. Sehingga perjuangan yang dulunya untuk kepentingan rakyat sekarang malah berbalik untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan tertentu.
Semoga saja tidak menjadi sebuah malapetaka baru di Tanah Rencong akibat ulah dari kelompok dan golongan tertentu yang memperturutkan nafsu duniawi, yang haus akan harta dan kekuasaan dengan saling mencaci dan membunuh sesama suku bangsa di Bumi Iskandar Muda. Aamiiin...
--------------------------------------------------------------------------------
Baca juga:
- DI/TII Aceh; Gejolak Kekecewaan Sang Pejuang Kemerdekaan- Aceh bukan Pengkhianat tapi diKhianati
- Aceh Daerah ModaL, Sejarah yang dikaburkan dan Terlupakan
------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
- Atjeh Bak Mata Donja, Hasan Tiro, (1968)
- The Drama of Acehnese History, Hasan Tiro (1979)
- Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia
(Thesis PhD: Cornell University), Morris, EE. (1983)
- The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro, Hasan Tiro, (1984)
- Sumatera Siapa Punya?, Stockholm: Biro Penerangan ASNLF, (1991)
- The Roots of Achenese Rebellion, Kell, T. (1995)
- Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, A. Farhan Hamid, (2006)
- Hasan Tiro, dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis, Ahmad Taufan Damanik (2010)
- Sumber lainnya (artikel, majalah, koran)
- The Drama of Acehnese History, Hasan Tiro (1979)
- Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia
(Thesis PhD: Cornell University), Morris, EE. (1983)
- The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro, Hasan Tiro, (1984)
- Sumatera Siapa Punya?, Stockholm: Biro Penerangan ASNLF, (1991)
- The Roots of Achenese Rebellion, Kell, T. (1995)
- Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, A. Farhan Hamid, (2006)
- Hasan Tiro, dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis, Ahmad Taufan Damanik (2010)
- Sumber lainnya (artikel, majalah, koran)
Wassalam...