Laman

DI/TII Aceh; Gejolak Kekecewaan Sang Pejuang Kemerdekaan

Tgk. Muhd. Daud Bereueh adalah seorang ulama kharismatik dan juga tokoh pejuang kemerdekaan RI yang sangat ditakuti dan disegani lawan dimedan pertempuran. Beliau pernah menjabat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dan juga pernah memimpin Gerakan Pemberontakan DI/ TII Aceh pada tanggal 21 September 1953 karna kecewa kepada pemerintah yang mengingkari janjinya dan iba pada penderitaan rakyat Aceh setelah pengorbanannya yang begitu besar pada negeri ini saat itu.

Kepopulerannya sebagai tokoh pejuang kemerdekaan RI memang kalah dengan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien akibat propaganda politik yang menyebabkan Nasionalisme, Loyalitas dan Patriotismenya tersamarkan dengan aksi pemberontakan DI/TII Aceh yang dipimpinnya. Beliau lebih dikenal sebagai tokoh yang makar dan berkhianat pada RI dengan mengenyampingkan dan mengkaburkan alasan sesungguhnya mengapa beliau memberontak.

Beberapa tahun setelah pemberontakan usai dengan kembalinya beliau ke pangkuan ibu pertiwi, banyak kabar menyesatkan dan propaganda murahan yang bermunculan. Ada yang bilang beliau adalah ulama yang haus kekuasaan dan ada yang lebih menyesatkan lagi yang mengatakatan bahwa beliau telah dibeli dengan uang dan harta yang melimpah oleh negara ditempat pengasingannya di Jakarta. Benarkah demikian.? saya akan mencoba mengungkap sejarah yang tersembunyi berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dikaburkan.

Siapa Tgk. Muhd. Daud Beureueh.?

Banyak sebutan lain yang melekat pada beliau, diantaranya Abu Jihad, Abu Bereueh dan Abu Daud. Rakyat Aceh pada saat itu sangat mengagumi dan menghormati beliau bahkan Bung Karno pun sangat menyeganinya dan menyebutnya dengan panggilan kakak.

Beliau lahir dengan nama lengkap Muhammad Daud, sedangkan Beureueh adalah nama kampung tempat kelahirannya. Abu Daud seorang ulama murni keluaran dayah/ pesantren tapi tidak buta huruf latin. Beliau terkenal sebagai orator ulung dan penceramah yang sangat dikagumi, berkepribadian tegas dan teguh pendiriannya dalam agama Islam. Sehingga pada masanya sebelum kemerdekaan sering bentrok dengan penguasa yang tidak sesuai dengan pendiriannya mengenai masalah pemerintahan dan agama. Dan setelah kemerdekaan beliau juga sangat anti akan komunisme. Komunis dianggapnya musuh islam dan ketika mulai merambah ke Aceh saat itu, Abu Daud dengan tegas menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh untuk menjauhkan diri dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Abu Daud sempat mendirikan pusat pendidikan agama islam pada tahun 1931, yaitu Madrasah Sa'adah Abadiah di Sigli, dan tersohor sampai ke seluruh Aceh. Pada tahun 1939, saat Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dididirikan yang terpilih sebagai ketua adalah Tgk. Daud Bereueh dan menjabat sampai beberapa periode. Pengaruhnya sangat besar dan sudah menjadi suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan antara PUSA dan Abu Daud. Di PUSA beliau mengembleng para kadernya untuk melakukan pemberontakan pada Belanda. Dan saat Jepang menduduki Aceh, kompeni Belanda sudah nyaris hilang dibunuh oleh rakyat Aceh.

Beliau sempat ditahan pada saat Jepang berkuasa di Aceh karna dianggap seorang pemimpin dan ulama yang reaksioner. Namanya menjadi legenda dan terkenal disepanjang pantai Sumatera hingga sampai ke pulau jawa karna aksi perlawanan dan prestasi gemilangnya dalam mempertahankan jiwa proklamasi 45 dengan berjuang menggempur dan mempertahankan front Aceh dari tentara NICA Jepang.

Peranan Abu Jihad dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Pada awal kemerdekaan RI dan pemerintahan sudah dialihkan ke Yogyakarta, beliau diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan tetap berdomisili di Aceh. Pada saat akan dilakukan penggabungan laskar perjuangan rakyat dengan Tentara Republik Indonesia (TRI) sempat terjadi ketegangan di Aceh karna banyak rakyat Aceh yang menolak. Tapi berkat pengaruh besar beliau akhirnya rakyat Aceh melunak dan bersedia bergabung dengan TRI (sekarang TNI).

Sewaktu Bung Hatta mengangkatnya menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jendral Mayor Tituler merangkap sebagai Panglima Divisi X TRI. Banyak dari kalangan militer yang meragukan dan menolak mengingat beliau tidak mengenyam pendidikan militer melainkan hanya lulusan pesantren/ dayah kampung. Bung Hatta beralasan bahwa opsir-opsir tentara saat itu kebanyakan adalah bekas pengikut dan murid-murid Abu yang fanatik, kalau RI tidak bijaksana dalam mangambil keputusan dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi RI yang sedang sakit keras saat itu.

Abu Daud Bereueh mempunyai peranan yang sangat besar dalam mempertahankan keutuhan NKRI disaat-saat kritis, disaat kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda dan Soekarno Hatta ditawan. Saat pembentukan PDRI, ibukota negara pun terpaksa dipindahkan dari Bukit Tinggi ke Kutaradja (Banda Aceh). Karna saat itu hanya Aceh lah satu-satunya daratan RI yang masih utuh dan tak tersentuh Belanda. Abu Daud bersama pasukannya berhasil menghalau serangan Belanda dari darat, laut dan udara. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah SWT akhirnya pasukan Belanda tak mampu menembus garis pertahanan RI yang terakhir, yaitu Aceh.

Kemesraan Bung Karno dan Abu Daud Bereueh
Ketika RI diambang kehancuran, diblokade oleh Belanda dari darat, laut dan udara, dan mulai meluasnya negara-negara boneka ala Van Mook. Bung Karno (sebelum ditawan Belanda) terbang ke Aceh menemui Abu Daud dan memohon pertolongan beliau dengan deraian air mata dipendopo keresidenan Aceh di Kutaradja (Banda aceh sekarang). Apa saja permohonan Bung Karno dan apa saja permintaan Abu Daud bila beliau berhasil menwujudkan keinginan Bung Karno.?
Baca selengkapnya disini: Aceh bukan Pengkhianat tapi diKhianati...

Kekecewaan Abu Daud Bereueh pada Bung Karno
Singkat cerita, setelah beliau berhasil mempertahankan keutuhan NKRI, kota Yogyakarta pun berhasil direbut kembali pada serangan umum 1 maret, dan RI kembali bisa bernafas lega. Pada tahun 1949 melalui Undang-Undang No.08/Des./WKPM/1949, Aceh kemudian dibentuk menjadi sebuah provinsi dan Abu Daud Bereueh beralih jabatan dari Gubernur Militer menjadi Gubernur Sipil.

Tak lama berselang waktu, sebuah keputusan gila dibuat oleh penguasa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1950. Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya Medan. Keputusan ini sangat mengejutkan Abu Daud dan rakyat Aceh saat itu. Karena merasa telah dikecewakan dan dikhianati atas jasa dan pengorbanannya yang begitu besar kepada NKRI dan berarti pula bahwa Bung Karno telah mengkhianati janjinya kepada Abu Daud pada bulan juni 1948. Pergolakan pun terjadi, situasi di Aceh semakin memanas. Namun dengan kewibawaan dan kebijaksanaan Abu Daud, akhirnya rakyat Aceh dapat menerima keputusan itu dengan ikhlas. Apa saja pengorbanan rakyat Aceh untuk NKRI.? Baca selengkapnya disini: Aceh Daerah ModaL, Sejarah yang dikaburkan dan Terlupakan...

Ketika Kesabaran Abu Daud Bereueh sampai pada Puncaknya
Ternyata tindakan semena-mena pemerintah pusat terhadap Aceh tidak hanya sampai disitu. Hati rakyat Aceh kembali terluka pada razia senjata gelap diseluruh Aceh yang dilaksanakan oleh TRI dari brigade AA pada bulan Agustus 1951 dengan alasan yang mengada-ngada dan tingkah laku prajurit yang menyinggung dan menyakiti hati rakyat Aceh. Banyak para mantan pejuang dan pemimpin pasukan saat perjuangan mempertahankan NKRI tahun 1949 yang ditahan dan dijebloskan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Dan yang sangat mengecewakan adalah rumah Abu Daud Bereueh pun ikut digeledah dengan cara yang sangat tidak wajar.

Api yang sudah mulai padampun kembali tersulut. Akhirnya karna kekecewaan yang sudah hampir meledak, Abu Daud pun mengirim surat kepada Bung Karno pada tanggal 8 Oktober 1951. Berikut petikan isi surat beliau:

Ada berita yang sampai di telinga beliau bahwa beliau dan sejumlah kawan-kawannya akan ditangkap oleh tentara dengan alasan menyimpan senjata gelap. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak berkeberatan bila ditangkap dan dibunuh, akan tetapi jangan dengan alasan yang dibuat-buat dan jangan mengelabui mata rakyat. Selanjutnya beliau menyatakan dalam surat itu bahwa dalam menghadapi tindakan sewenang-wenang pihak tentara, rakyat akan melalui tiga tahap; tahap sabar, tahap benci dan tahap melawan. Sekarang rakyat sudah sampai kepada tahap kedua. Maka oleh karena itu beliau mengharapkan kebijaksanaan Presiden, kiranya hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari *isi utuh dari surat beliau dapat dilihat pada lampiran 11 hal.259 dalam buku M. Nur El Ibrahimy, Tgk. Muhd. Daud Beureueh, 1982.

Dari isi surat tersebut, kita dapat mengetahui betapa besar ketegangan yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut yang telah memuncak tinggi. Ini adalah cikal bakal meusiu kekecawaan yang lambat laun berkembang menjadi bom waktu yang meletuskan "Pemberontakan DI/TII Aceh pimpinan Abu Jihad (Abu Daud Beureueh)".

Meletusnya Bom Waktu DI/TII Aceh

Setelah sekian lama terpendam, kekecewaan Abu Daud pun sampai pada puncaknya dan kesabaran beliau telah sampai pada tahap ketiga sesuai isi suratnya kepada Bung Karno. Karena tidak tahan lagi melihat rakyat Aceh yang diperlakukan semena-mena setelah pengorbanan yang begitu besar kepada NKRI. Akhirnya bom waktu itu meletus juga pada tanggal 21 September 1953. Abu Daud memutuskan untuk mengangkat senjata lagi bersama sisa pasukannya yang masih setia demi memperjuangkan harkat dan martabat rakyat Aceh yang telah diinjak-injak oleh penguasa RI yang dhalim dengan aksi pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh.

Apa yang diperjuangkan beliau.? untuk kekuasaan.? Aceh Merdeka.? bukan kedua-duanya, beliau hanya ingin agar dapat terlaksananya Hukum Allah dan Sunnah Rasul di daerah Aceh (otonomi khusus agar Aceh bisa melaksanakan hukum syariat islam) sesuai janji Bung Karno pada bulan Juni 1948. Pemberontakan tersebut pun dilakukan sebagai alternatif terakhir karna semua usaha yang dilakukan secara damai, sabar dan konstitusional dengan Pemerintah RI tidak berhasil alias gagal.

Kembalinya Abu Bereueh ke Pangkuan Ibu Perwtiwi

Setelah berjuang selama 9 tahun dan sempat membentuk Negara Islam Aceh (NIA). Dan melalui beberapa kali dialog panjang dengan Panglima Kodam I/ Iskandar Muda Kolonel Jasin, Kepala Staf Kodam Letkol T. Nyak Adam Kamil dan pengiriman utusan kepada Menteri Keamanan Nasional yang saat itu dijabat oleh Jendral A.H. Nasution. Akhirnya Abu Daud membuat kesepakatan akan bersedia turun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat bahwa di "Daerah Istimewa Aceh" dilaksanakan unsur-unsur Syari'at Islam dalam batas-batas yang dimungkinkan peraturan perundang-undangan negara.

Buah dari kesepakatan itu melahirkan Keputusan Peraturan Penguasa Perang Daerah Aceh (Peperda) No. KPTS/Peperda/2/1962 yang dirumuskan oleh Letkol Nyak Adam Kamil, Kap. A. Manan, Tgk. Haji Abdullah Ujong Rimba, M. Nur El Ibrahimy, dan disetujui oleh Pangdam Kol. Jasin yang mengandung isi tentang kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur Syari'at Islam di Daerah Istimewa Aceh. Dan pada tanggal 5 Februari 1962 Kol. Jasin mengirimkan surat resmi kepada Tgk. Muhd. Daud Beureueh yang berlampirkan Keputusan Peperda tersebut.

Pada tanggal 17 Februari 1962, surat Kol. Jasin tersebut dijawab oleh Tgk. Muhd. Daud Beureueh yang isinya menyatakan bahwa keputusan Kol. Jasin itu dapat dipahaminya dan boleh diteruskan. Setelah terjadi kesepakatan tersebut, singkat cerita pada hari rabu tanggal 9 Mei 1962, Abu Daud beserta pasukannya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan dijemput sendiri oleh Kepala Staf KODAM I/Iskandar Muda Letkol Nyak Adam Kamil. Dan kepada Aceh diberikan titel "Daerah Istimewa Aceh " dengan tiga keistimewaan, yaitu bidang pendidikan, budaya dan agama. Alhamdulillah... dengan kesepakatan damai tersebut, hati rakyat Aceh yang sempat terluka pun kembali terobati.


Abu Daud Bereueh ketika dijemput oleh Letkol Nyak Adam Kamil 
dari "Mardhatillah" (nama markas beliau)

Pantaskah disebut Makar.?

Dari perjalanan sejarah yang dipaparkan timbul suatu pertanyaan: Pantaskah beliau disebut sebagai pengkhianat dan Makar pada RI.? Saya sangat yakin anda cukup bijak dalam mengambil suatu kesimpulan.

Akhir dari Sebuah Perjalanan Panjang

Pengaruh kewibawaan dan kharismanya sangat besar dikalangan masyarakat Aceh, beliau begitu dihormati dan disegani, beliau adalah tokoh ulama revolusioner yang berhasil menumbangkan kekuasan feodal dari Aceh yang telah mengakar sejak puluhan tahun, beliau juga berhasil mempertahankan garis pertahanan RI yang terakhir (Aceh) pada Agresi Militer II Belanda, beliau berhasil mengelola daerah modal perjuangan, dan berhasil pula mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh yang sempat diinjak-injak RI melalui pemberontakan DI/TII Aceh. Beliau adalah salah satu putra terbaik Aceh yang patut dikagumi dan dibanggakan oleh rakyat Aceh.

Diasingkan ke Jakarta 
Mengingat pengaruhnya yang sangat besar dalam masyarakat Aceh, maka pada tanggal 1 mei 1978 beliau pun diasingkan ke jakarta untuk memutus hubungan dengan para murid-murid dan pengikut-pengikutnya.

Ini juga yang kemudian merebak isu propaganda murahan yang ditebar ke masyarakat Aceh bahwa beliau telah dibeli dengan uang oleh pemerintah dan dianggap sebagai ulama yang haus harta dan kekuasaan. Benarkah demikian.?

Tentu saja ini isu yang mengada-ngada dan merupakan propaganda murahan yang menyesatkan. Bagi siapa saja yang pernah dekat dan mengenal beliau, dan mengetahui sejarah beliau akan membantah isu tersebut. Berdasarkan ulasan-ulasan saya terdahulu, saya juga berkesimpulan dan menegaskan kalau itu adalah isu yang tidak benar dan menyesatkan.!!! 

Beliau diasingkan ke jakarta atas kekhawatiran pemerintah terhadap pemberontakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro, mengingat Hasan Tiro pernah menjadi pengikut beliau pada saat DI/TII dulu.

Kembali ke Aceh dengan Jaminan Tokoh Masyarakat
Abu Daud Bereueh merasa sangat kecewa diasingkan ke Jakarta. Beliau merasa sedih dijauhkan dengan tanah kelahiran dan murid-muridnya. Beliau menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Kehidupan beliau disana bisa dikonotasikan seperti burung dalam sangkar emas dengan segala fasilitas yang ditanggung oleh negara.

Ternyata kegelisahan yang sama pun dirasakan oleh murid-murid dan orang-orang terdekat beliau. Sehingga mereka berusaha memulangkan Abu Daud ke Aceh dengan menjaminkan diri mereka kepada pemerintah bahwa saat Abu Daud di Aceh tidak akan melakukan dan memberikan dukungan perlawanan kepada pemerintah.

Setelah empat tahun di jakarta, Sang Legenda pun diijinkan kembali pulang dan menetap di Tanah Rencong sampai akhir hayatnya pada tanggal 10 Juni 1987. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Allah telah memanggil seorang ulama besar yang melegenda dan menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh. Semoga Allah menempatkan beliau ke dalam golongan hamba-hamba yang selalu mendapat rahmat dan kasih sayang Nya. Aamiin... Aamiin... Ya.. Rabbal 'Alamiin...

Setelah Abu Daud Bereueh meninggal, Hasan Tiro menjadi simbol perlawanan baru. Lantas benarkah ada hubungan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan DI/TII pimpinan Abu Daud Bereueh..? Baca selengkapnya disini: Hasan Tiro; Pemberontakan Aceh Merdeka (AM/ GAM)

Baca juga:
------------------------------------------------------------------------------

Referensi:
- Teungku Muhammad Daud Bereuh, M. Nur El Ibrahimy, (1982)
- Darul Islam; Sebuah Pemberontakan, C.Van.Dijk, (1983)
- Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia
  (Thesis PhD: Cornell University), Morris, EE. (1983) 
- Pemberontakan Kaum Republik, Nazaruddin Syamsuddin, (1985)
- Semangat Merdeka (70 tahun menempuh jalan pergolakan & perjuangan kemerdekaan), A. Hasjmy (1985)
- Bunga Rampai Sejarah Aceh, Ismail Sunny, (1985)
- Islam, Sejarah dan Politik di Aceh,  Taufik Abdullah, (1987)
Aceh Daerah Modal, Tgk. A.K. Jakobi (1992)
- The Roots of Achenese Rebellion, Kell, T. (1995)
- Darul Islam di Aceh; Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional di Indonesia, 1953-1964, Ti Aisyah dkk (2008)
- Api Sejarah 2, Ahmad Mansur Suryanegara, (2010)



Wassalam...

Daftar Isi