Beberapa hari yang lalu warganet di Aceh viral dengan statement dari Kepala BAPPEDA Aceh tentang rokok.
Statement tersebut dimuat Harian Serambi Indonesia, edisi Selasa 8 Agustus 2017, dengan judul: "Rokok sebabkan kemiskinan di Aceh". menurut beliau tingginya tingkat konsumsi rokok pada masyarakat Aceh termasuk yang berpenghasilan rendah menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kemiskinan di Tanah Rencong.
Azhari Hasan, S.E.,M.Si, menjelaskan bahwa angka kemiskinan di Aceh saat ini naik menjadi 16,89 persen, dengan kisaran jumlah penduduk miskinnya mencapai 872 ribu jiwa. Jika dilihat dari penyebabnya, rokok menyumbang 13,4 persen kemiskinan di kawasan perkotaan sedangkan kawasan pedesaan mencapai 10,6 persen.
Setali tiga uang, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pun ikut juga menanggapi hal tersebut dengan mengupdate status di akun facebooknya "Irwandi Yusuf, dengan judul: Tentang Rokok Bikin Miskin". Pak Gubernur memperkuat argumennya dengan membuat ilustrasi sebuah keluarga yang dipimpin oleh seorang perokok, berikut analisa dan hitung-hitungan versi pak gubernur hingga sampai pada kesimpulan "Rokok Memang Bikin Miskin".
TENTANG ROKOK BIKIN MISKIN
Yuk gunakan otak kita:
______________________________
Lon hana melarang rakyat meurukok. Nyan HAM. Pertimbangan na bak droe maseng2. Bahan pertimbangan seperti di bawah ini.
______________________________
Ilustrasi:
Satu keluarga yg terdiri atas 5 orang. Suami (kepala keluarga), istri dan 3 orang anak. Yg cari duit adalah suami. Duit yang jarus dicari adalah Rp 14.000/hari/jiwa (Standar minimum).
Total harus ada duit per hari adalah 5x14000 = Rp70.000.
Biasanya upah buruh adalah antara Rp50.000 sd Rp75.000. Kita pasang Rp75.000 saja.
Si suami adalah perokok. Biasanya si perokok menghabiskan sedikitnya 2 bungkus rokok/hari. Harga rokok rata2 Rp20.000/bungkus = Rp40.000/hari.
Sisa penghasilan keluarga setelah membeli rokok adalah:
Rp75.000 - 40.000 = Rp35.000/hari.
Jatah per orang perhari tinggal Rp35000/5 = Rp 7.500. Ini JELAS MISKIN.
Jika suami hanya isap rokok 1 bungkus/hari maka sisa penghasilan keluarga adalah Rp 55.000. Jatah/orang tinggal Rp 11.000. Gak cukup standar.
ROKOK MEMANG BIKIN MISKIN.
Makanya, gunakan yang dilindungi oleh rambut itu sebelum menghujat sesuatu ide
-----------------------------------------------------
Ilustrasi di atas ada benarnya TAPI juga ada tapinya, pada ilustrasi di atas yang dijadikan variabel adalah rokok. Nah, kalau variabel rokok kita ganti dengan variabel lain hasilnya juga bakalan sama. Misalkan saja kita ganti variabel rokok dengan variabel kopi, masyarakat Aceh kan maniak kopi, dengan menggunakan ilustrasi yang sama, yuk kita gunakan yang dilindungi rambut tanpa menghujat sebuah ide:
Ilustrasi di atas ada benarnya TAPI juga ada tapinya, pada ilustrasi di atas yang dijadikan variabel adalah rokok. Nah, kalau variabel rokok kita ganti dengan variabel lain hasilnya juga bakalan sama. Misalkan saja kita ganti variabel rokok dengan variabel kopi, masyarakat Aceh kan maniak kopi, dengan menggunakan ilustrasi yang sama, yuk kita gunakan yang dilindungi rambut tanpa menghujat sebuah ide:
--------------------------------------------
Ilustrasi:
Si suami adalah maniak kopi (espresso). Biasanya menghabiskan sedikitnya 4 gelas kopi/hari. Harga kopi espresso rata-rata di cafe Rp10.000/gelas = Rp40.000/hari.
Sisa penghasilan keluarga setelah meminum kopi adalah: Rp 75.000 - 40.000 = Rp 35.000/hari.
Jatah per orang perhari tinggal Rp 35000/5 = Rp7.500. Ini JELAS MISKIN juga.
Jika suami hanya menghabiskan 2 gelas/hari maka sisa penghasilan keluarga adalah Rp 55.000. Jatah/orang tinggal Rp 11.000. Gak cukup standar juga.
Ternyata KOPI JUGA BISA BIKIN MISKIN pak gubernur???
--------------------------------------
Menanggapi hal tersebut, baik pendapat Kepala BAPPEDA maupun Pak Gubernur, kedua pendapat tersebut bisa jadi benar, bisa jadi juga salah sangat tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Terlepas dari itu semua, ini hanyalah permainan angka statistik semu dengan manipulasi variabel-variabel. Meskipun menunjukkan tingkat signifikansi yang tinggi namun tidak mencerminkan KONDISI REAL yang menjadi PENYEBAB UTAMA KEMISKINAN DI ACEH.
Dalam kasus ini, rokok hanya jadi kambing hitam dari variabel semu. Padahal kambing sangat tidak suka disamakan dengan yang lain karena kambing kan sukanya sama rumput, hehe.. Peace...
Sebaiknya pemerintah tidak perlu membuang energi untuk menanggapi hitung-hitungan dengan menggunakan variabel semu seperti ini karena samasekali tidak mencerminkan kondisi real yang dirasakan oleh masyarakat.
Seharusnya dengan kucuran dana otsus triliunan rupiah meskipun tidak mampu menekan kemiskinan ke angka terendah paling tidak mampu menghambat laju pertumbuhannya. Dimana yang salah? siapa yang patut disalahkan?
Kalau kita mau jujur melihat kondisi Aceh saat ini, banyak faktor-faktor lain yang dapat dijadikan variabel real untuk mencari akar penyebab kemiskinan yang sesungguhnya tanpa harus mengkambing hitamkan yang lain. Misalkan saja korupsi, tingkat pendidikan yang rendah, lapangan kerja yang tersedia, riba, dan lain-lain.
Yang kita harapkan kepada pemerintah adalah mencari akar penyebab kemiskinan yang sesungguhnya dengan melakukan kajian ataupun analisa-analisa yang berlogika menggunakan instrumen yang benar dan variabel-variabel yang mencerminkan kondisi real saat ini.
Salah satu solusi tercerdas dalam mengurangi angka kemiskinan adalah dengan mencerdaskan masyarakat melalui kebijakan dan program-program yang berorientasi pada sektor pendidikan, baik formal maupun informal.
Meskipun tidak berdampak secara langsung dalam jangka pendek, namun dapat dipastikan membuahkan hasil dalam jangka menengah. Percuma saja kalau membuka lapangan kerja ataupun mengundang investor jika tingkat pendidikan masyarakat kita masih dibawah standar, kita hanya jadi penonton nantinya. Formasi yang terpenuhi pun hanya sebatas tukang sapu atau penjaga keamanan. Sementara formasi yang lebih tinggi dipenuhi oleh tenaga profesional dari luar Aceh, dan ini pernah terjadi puluhan tahun silam saat perusahaan-perusahaan raksasa menancapkan kakinya di Kota Petro Dollar Lhokseumawe.
Jangan sampai karena salah analisa data dan mengambil kebijakan, yang terjadi bukannya menekan angka kemiskinan tapi justru malah sebaliknya.
Ini Pekerjaan Rumah kita bersama, baik pemerintah selaku pengambil kebijakan maupun masyarakat selaku penikmat kebijakan.
Semoga Aceh ke depan dapat kembali menggapai masa kejayaannya seperti yang pernah diraih oleh para endatu geutanyoe, Aamiiin Ya Rabbal 'Alamiiin.
Semoga bermanfaat bagi kita semua,
Wassalam...